Ditulis oleh: PixelScribe | Edisi Politik & Ego, 14 Juni 2025
Tidak ada yang lebih menghibur daripada menyaksikan dua miliarder super berpengaruh, masing-masing dengan ego sebesar negara bagian Texas, saling menyerang di internet seperti remaja yang putus cinta. Dan tidak, ini bukan reality show—ini adalah Amerika 2025. Elon Musk dan Donald Trump, dua tokoh dengan pengikut setia bak agama baru, kini sedang terlibat drama high-octane yang membuat House of Cards terlihat seperti kartun anak-anak.
🥂 Dari Rekan Strategis Menjadi Saling Unfollow
Di masa awal kampanye 2024, Musk dan Trump seperti dua bros yang saling brofist di panggung politik. Musk bukan hanya mendukung Trump—ia menjadi bagian dari mesin kemenangan, lengkap dengan gimmick digital seperti situs giveaway “TrumpWin2024.org”. Di Oval Office, Musk diberi jabatan kehormatan sebagai Kepala Department of Government Efficiency (DOGE). Nama yang terdengar seperti lelucon internet? Betul. Itulah Amerika.
Trump menyebut Musk sebagai “visioner” dan “kartu AS pemerintah”. Sementara Musk, walau dikenal suka blak-blakan, tetap menjaga image dengan menyampaikan kritik secara diplomatis. Tapi, semua tahu, dua ego besar tidak bisa berbagi satu panggung terlalu lama. Seperti dua matahari dalam satu tata surya.
💣 BBB: RUU Cantik yang Membuat Hubungan Mereka Jelek
Ketegangan pecah ketika Trump memperkenalkan One Big Beautiful Bill (BBB)—sebuah RUU yang disebut-sebut bisa menghemat anggaran negara hingga 1,6 triliun dolar AS. Musk menertawakannya. Bukan secara langsung, tentu. Ia menyindirnya sebagai Slim Ugly Bill, dan menyatakan RUU itu seperti “bom anggaran” yang bisa menghancurkan efisiensi yang ia perjuangkan.
Tak puas di balik layar, Musk membuka perang di platform X, yang ironisnya adalah platform miliknya sendiri. Ia menyerang Trump secara terbuka, menyebutnya “tidak tahu berterima kasih” dan mengklaim kemenangan Trump tak mungkin terjadi tanpa bantuannya. Trump merespons di Truth Social, menyebut Musk “gila”, bahkan mengancam akan mencabut subsidi Tesla dan SpaceX. Oh, drama!
🐍 Cuitan Beracun dan Tuduhan Epstein: Musk Melangkah Terlalu Jauh?
Puncak konflik terjadi ketika Musk menyinggung skandal lama Trump—yup, yang berkaitan dengan Jeffrey Epstein. Meski Trump sudah berkali-kali membantah keterlibatan, Musk melempar cuitan ambigu yang memicu tsunami spekulasi. Twitter (eh, X) terbakar, saham Tesla anjlok, dan Wall Street mulai menggigit kuku.
Trump langsung murka. “Hubungan kami sudah selesai,” katanya kepada NBC. Tak ada lagi “visioner hebat” atau “rekan perubahan”. Yang tersisa hanyalah kemarahan, ancaman, dan… postingan yang kini sudah dihapus.
🙏 Musk Minta Maaf… Tapi Publik Sudah Terlanjur Menonton
Lalu datang momen twist yang tidak ditunggu-tunggu. Elon Musk, dengan enteng namun penuh kalkulasi, menulis:
“Saya menyesal atas beberapa unggahan saya tentang Presiden @realDonaldTrump minggu lalu. Unggahan itu terlalu berlebihan.”
Itu saja. Tanpa spesifikasi, tanpa penyesalan yang konkret. Tapi cukup untuk menciptakan 80 juta views, ratusan ribu like, dan satu pertanyaan besar: Tulus atau takut rugi?
Apakah ini bentuk refleksi pribadi atau sekadar damage control karena saham anjlok dan proyek antariksa terancam? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi jika kamu mengenal Elon Musk, maka kamu tahu—ia tidak pernah meminta maaf kecuali ada alasan yang sangat, sangat bisnis.
🧠 Ketika Teknologi Bertemu Politik, yang Terjadi Adalah Kekacauan
Perseteruan ini lebih dari sekadar konflik dua orang kaya. Ini tentang bagaimana dunia kita kini dijalankan oleh algoritma ego. Seorang presiden eksentrik dan seorang industrialis gila ide bisa mempengaruhi pasar, memicu ketegangan diplomatik, bahkan mengancam kelanjutan program luar angkasa—hanya dengan ponsel dan aplikasi posting.
Apa yang tadinya terlihat sebagai aliansi futuristik berubah menjadi bitter feud kelas dunia. Dan sayangnya, tidak ada mediator. Tidak ada Dewan Etik. Hanya likes, retweets, dan komentar penuh makian.
🌪️ Akankah Ini Berakhir?
Kemungkinan besar tidak. Perseteruan ini akan terus menjadi bahan bakar drama politik Amerika, bahkan mungkin dijadikan senjata kampanye pihak ketiga. Musk sudah menggoda ide membentuk partai baru. Trump? Mungkin sedang berpikir cara mengganti Tesla miliknya dengan truk Ford.
Yang pasti, satu hal telah berubah selamanya: kita tidak lagi berbicara soal sekadar “siapa yang benar”. Kita sedang menyaksikan pertarungan narasi, reputasi, dan pengaruh. Dan dalam dunia di mana opini lebih berharga dari data, pemenangnya bukan yang paling rasional — tetapi yang paling viral.