banner 728x250

Ketika Ampas Kopi dan ChatGPT Mengakhiri Pernikahan: Antara Ramalan, Realita, dan Halusinasi AI

Illustrasi Wanita Minta Cerai Karena ChatGPT
banner 120x600
banner 468x60

Di dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma dan kecerdasan buatan, kisah perpisahan sepasang suami istri asal Yunani ini terasa seperti naskah fiksi ilmiah absurd—namun benar-benar terjadi. Seorang wanita nekat menggugat cerai suaminya setelah mendapat “ramalan” dari ChatGPT. Ramalan itu bukan dari pembacaan kartu tarot atau paranormal profesional, melainkan dari AI yang membaca… ampas kopi.

Ya, benar. Dari segelas kopi yang sudah tandas, dan ampas yang tersisa di dasar cangkir, ChatGPT “meramal” bahwa sang suami memiliki fantasi berselingkuh dengan wanita berinisial “E”. Bukan hanya itu, ChatGPT juga menambahkan bahwa hubungan terlarang ini sudah ditakdirkan.

banner 325x300

Tasseografi—seni membaca pola dari ampas kopi—biasanya menjadi ranah para peramal tradisional di kawasan seperti Turkiye atau Yunani. Namun dalam kasus ini, pasangan itu iseng meminta AI OpenAI untuk “bermain peramal.” Iseng yang berujung perceraian.


AI, Ampas Kopi, dan Afirmasi Bahaya

Apa yang seharusnya jadi candaan, berubah jadi bencana. Sang istri menanggapi hasil “bacaan” ChatGPT dengan sangat serius, bahkan mempercayainya sebagai fakta tak terbantahkan. Dalam waktu tiga hari, ia meminta sang suami hengkang dari rumah dan menyampaikan gugatan cerai resmi ke pengadilan.

Masalahnya, apakah sebuah “ramalan” dari AI bisa dijadikan dasar hukum untuk tindakan drastis seperti perceraian?

Jawabannya: tidak. Hingga kini belum ada sistem hukum di dunia yang mengakui hasil ramalan AI sebagai bukti sah di pengadilan. Lebih jauh, ChatGPT—atau model AI lainnya—tidak dilatih secara khusus untuk melakukan tasseografi atau pembacaan spiritual lainnya. AI tidak punya intuisi mistik, hanya probabilitas statistik dan algoritma pencocokan pola.


Fenomena Halusinasi AI: Ramalan atau Karangan Bebas?

Kasus ini memunculkan isu yang lebih besar: halusinasi AI, atau lebih tepatnya AI hallucination. Ini adalah kondisi di mana AI memberikan informasi yang meyakinkan tetapi tidak akurat, bahkan sepenuhnya salah.

Menurut riset terbaru dari OpenAI, dua model AI canggih mereka, o3 dan o4-mini, menunjukkan tingkat halusinasi yang cukup tinggi. Dalam pengujian SimpleQA (pertanyaan faktual pendek), o4-mini memberikan jawaban halu hingga 79 persen. Ini berarti 8 dari 10 jawaban bisa saja berisi informasi ngawur, tetapi dikemas seolah-olah benar.

Model GPT-4.5, yang lebih canggih, memiliki tingkat halusinasi lebih rendah, yaitu sekitar 37,1 persen. Namun angka ini tetap cukup mengkhawatirkan jika dijadikan rujukan dalam hal yang sifatnya sensitif atau berdampak besar—seperti hubungan rumah tangga.

Dan inilah letak masalahnya: AI seperti ChatGPT dirancang untuk selalu memberikan jawaban, bahkan ketika tidak yakin atau tidak tahu. Ketimbang mengakui “Saya tidak tahu”, AI akan merangkai narasi yang terdengar valid. Ini bukan karena AI ingin menipu, melainkan karena memang begitu cara kerjanya: memaksimalkan prediksi kata-kata berdasarkan kemungkinan, bukan kebenaran objektif.


AI dan Psikologi Manusia: Ketika Kepercayaan Mengalahkan Logika

Kasus wanita Yunani ini mengungkap satu realita penting: betapa besar pengaruh AI terhadap keyakinan manusia. Dalam dunia yang semakin percaya pada “data”, kepercayaan pada mesin bisa menggantikan insting, logika, bahkan komunikasi antar manusia.

Alih-alih bertanya langsung pada pasangannya, wanita tersebut mempercayai jawaban dari sebuah sistem prediktif berbasis algoritma. Ini menunjukkan bagaimana AI bisa menjadi semacam “otoritas baru” dalam kehidupan modern—meskipun belum tentu layak dipercaya.

Faktor psikologi juga berperan. Ketika seseorang sedang dilanda keraguan atau kecemasan dalam hubungan, konfirmasi sekecil apa pun (terutama dari sumber yang dianggap “netral” seperti AI) bisa dianggap sebagai bukti absolut. Padahal, seperti yang disampaikan oleh OpenAI dan berbagai pakar AI, sistem seperti ChatGPT tidak memiliki kesadaran, kebenaran mutlak, atau validasi moral.


Masa Depan di Ujung Cangkir: AI Sebagai Konsultan Kehidupan?

Fenomena ini seakan menjadi refleksi tentang masa depan relasi manusia dan mesin. Ketika AI bisa membaca dokumen hukum, merancang musik, hingga—kini—meramal dari ampas kopi, di mana batasannya? Apakah kita akan menyerahkan keputusan hidup kepada entitas digital yang tidak tahu rasanya mencintai, dikhianati, atau ditinggalkan?

OpenAI sendiri sudah menyatakan bahwa halusinasi bukanlah bug, tapi “fitur yang melekat.” Bahkan CEO Sam Altman menegaskan bahwa kemampuan AI untuk “berhalusinasi” justru bagian dari nilai kreatif chatbot, meskipun berisiko disalahgunakan.

Sementara itu, perusahaan seperti Google dan Microsoft mulai mengembangkan sistem koreksi seperti Microsoft Correction dan Google Vertex, yang memberi tanda ketika informasi AI kemungkinan salah. Tapi, seperti disebut TechCrunch, belum ada jaminan bahwa teknologi ini mampu sepenuhnya menekan gejala “halu” dari AI.


Penutup: Jangan Percaya Ampas Kopi dari AI

Perceraian karena AI bukan hanya kisah tragis yang ironis, tapi juga peringatan. Di era digital ini, batas antara hiburan, informasi, dan manipulasi menjadi kabur. AI bisa membantu banyak hal, tapi bukan pengganti akal sehat, komunikasi jujur, dan rasa percaya antar manusia.

Jadi, sebelum Anda tanya ChatGPT soal cinta Anda, mungkin lebih baik Anda tanya langsung ke pasangannya. Dan ingat: kadang ampas kopi cuma ampas kopi. Bukan takdir.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan