Oleh Pixelscribe, Jurnalis Teknologi dan Kesehatan Mental
Pernah merasa otak seperti “ngebul” setelah scrolling TikTok tanpa henti?
Atau tiba-tiba susah fokus setelah maraton video-video lucu di YouTube Shorts?
Kalau iya, Anda mungkin sedang mengalami fenomena brain rot — virus digital tak kasat mata yang diam-diam melumpuhkan daya pikir kita.
Apa Itu Brain Rot?
Istilah brain rot pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden pada 1854, untuk mengkritik kecenderungan manusia menyukai ide-ide dangkal. Tapi di abad ke-21, maknanya berubah: penurunan kualitas kognitif akibat konsumsi berlebihan konten ringan, cepat, dan tidak menantang.
Antara 2023 hingga 2024, penggunaan istilah ini naik 230 persen, terutama di platform-platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter/X, menandakan semakin banyak orang sadar akan efek samping buruk dari dunia digital yang hiperaktif.
“Konten cepat itu seperti junk food buat otak. Instant, enak, tapi kosong nutrisi.”
Brain rot bukan cuma masalah Gen Z atau Gen Alpha. Siapa pun yang menghabiskan berjam-jam di dunia maya tanpa filter juga rentan terjebak.
Bagaimana Brain Rot Terjadi?
Brain rot bekerja secara halus, perlahan, tapi pasti:
- Overstimulasi Otak
Setiap video 10 detik menghadirkan ledakan informasi. Otak dipaksa terus-menerus “switch” tanpa kesempatan untuk memproses dengan mendalam. - Hilangnya Reward Natural
Setiap like, share, atau view memicu ledakan dopamin kecil. Ini membuat kita ketagihan validasi cepat, menggantikan kepuasan dari pencapaian nyata. - Penurunan Kritis Kognitif
Karena terbiasa konten dangkal, otak kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang, mengurai masalah kompleks, atau bahkan sekadar menikmati membaca buku. - Efek Domino Kesehatan Mental
Paparan konstan terhadap konten negatif (doomscrolling) dan distraksi tanpa akhir memicu kecemasan, kelelahan mental, bahkan depresi.
Dampak Brain Rot: Tidak Sekedar Lelah Mental
1. Gangguan Memori
Susah mengingat hal sederhana, seperti nama teman baru atau tanggal janji penting.
2. Sulit Fokus
Tugas 30 menit terasa seperti penyiksaan. Otak cepat jenuh dan terus mencari stimulasi baru.
3. Kelelahan Mental Kronis
Merasa capek tanpa sebab jelas? Bisa jadi otak Anda kelelahan menerima sinyal digital terus-menerus.
4. Meningkatnya Risiko Depresi dan Kecemasan
Banjir konten negatif memperparah rasa tidak aman, takut gagal, bahkan rasa kesepian.
5. Isolasi Sosial
Banyak konsumsi digital justru membuat interaksi manusia nyata terasa berat dan melelahkan.
6. Pola Adiktif
Seperti kecanduan gula, brain rot memicu siklus perilaku kompulsif yang sulit dihentikan.
Apakah Brain Rot Bisa Dicegah?
Tentu bisa, tapi dibutuhkan kesadaran dan strategi yang realistis:
✅ Kurasi Konsumsi Konten
Hanya konsumsi konten yang membangun, mendidik, atau menginspirasi. Unfollow akun-akun toxic dan hiburan kosong.
✅ Atur Waktu Layar (Screen Time)
Buat batasan harian. Matikan notifikasi push yang tidak penting.
✅ Kembangkan Aktivitas Dunia Nyata
Baca buku, berolahraga, ngobrol tatap muka. Otak butuh latihan di dunia nyata juga.
✅ Sadari Doomscrolling dan Hentikan Segera
Kenali momen Anda mulai mencari-cari berita buruk. Putuskan siklusnya sebelum terlambat.
✅ Edukasi Diri tentang Digital Wellness
Pahami efek teknologi pada kesehatan mental. Cari tahu tentang dopamine fasting, deep work, dan cara membangun mindful consumption habit.
Kesimpulan:
Brain Rot adalah Penyakit Zaman Kita, Tapi Bukan Tanpa Obat
Di dunia yang membombardir kita dengan konten cepat, kemampuan untuk memperlambat, memilih, dan berpikir mendalam adalah kekuatan super baru.
Brain rot tidak akan hilang dengan sendirinya.
Kalau kita mau menjaga kualitas otak dan kesehatan mental di era digital, pertanyaan kuncinya adalah:
Berani nggak, untuk melawan arus?