MENLO PARK, KALIFORNIA – Mark Zuckerberg, arsitek di balik imperium Meta, kembali menjadi pusat gravitasi perbincangan. Bukan soal Threads yang sempat gempar atau Metaverse yang masih mencari pijakan, namun investasi fantastis senilai Rp 227 triliun yang ia suntikkan untuk sebuah proyek AI yang disebut-sebut sebagai “superintelligence”. Ini bukan lagi sekadar ambisi, melainkan manuver agresif yang mengonfirmasi bahwa pertempuran AI kini memasuki fase paling brutal.
Laporan dari Bloomberg dan New York Times, yang kini menjadi narasi utama di koridor teknologi, menguak kegelisahan Zuckerberg terhadap performa Meta di ranah kecerdasan buatan. Model Llama mereka, meski open source, masih kesulitan menandingi dominasi ChatGPT atau performa model AI lainnya. Ini bukan sekadar kekecewaan biasa; ini adalah frustrasi seorang CEO yang melihat kerajaannya terancam oleh gelombang inovasi AI yang tak terbendung. Maka, Zuck turun tangan langsung, mengundang pakar-pakar AI terbaik ke kediamannya, membentuk tim elit yang akan diisi sekitar 50 engineer dan peneliti, bahkan sampai mengubah tata letak kantor di Menlo Park demi kedekatan strategis dengan tim barunya. Ini adalah orkestrasi pribadi, dipimpin langsung oleh sang maestro.
Rp 227 Triliun untuk “Otak” AI: Siapa Pemain Kunci di Balik Layar?
Angka Rp 227 triliun (setara USD 14 miliar) bukanlah sekadar anggaran, melainkan statement. Uang sebanyak itu ditujukan untuk menyuntikkan kapital ke Scale AI, sebuah startup yang dipimpin oleh Alexandr Wang, CEO berusia 28 tahun yang reputasinya di industri sudah mentereng. Keputusan Meta untuk berinvestasi, alih-alih mengakuisisi penuh Scale AI, adalah langkah kalkulatif. Ini meniru pola Microsoft dengan OpenAI atau Alphabet dengan DeepMind: memanfaatkan inovasi pihak ketiga tanpa harus menanggung seluruh beban birokrasi dan integrasi pasca-akuisisi. Wang, yang dikenal cerdas secara teknis dan tajam secara bisnis, dipercaya menjadi tangan kanan Zuckerberg dalam mewujudkan visi AI yang melampaui batas. Kolaborasi ini bukan sekadar kemitraan; ini adalah fusi strategis antara kapital raksasa dan talenta mutakhir.
Dari AGI ke Superintelligence: Ambisi Tanpa Batas Zuckerberg
Tujuan akhir Zuckerberg tak main-main: mencapai superintelligence. Artinya, menciptakan AI yang tak hanya setara, namun mampu melampaui kemampuan kognitif manusia. Namun, sebelum mencapai titik itu, tantangan terbesarnya adalah mencapai Artificial General Intelligence (AGI)—sebuah kecerdasan buatan yang mampu memahami, belajar, dan menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah lintas domain, layaknya otak manusia.
Perdebatan mengenai kapan AGI akan terwujud masih menjadi topik panas di kalangan peneliti. Beberapa yakin dalam beberapa tahun ke depan, AGI sudah di depan mata. Yang lain jauh lebih pesimis, menganggapnya masih fatamorgana. Terlepas dari itu, Zuckerberg tak mau ambil risiko. Ia melihat AI bukan hanya sebagai peluang, tetapi sebagai ancaman eksistensial bagi model bisnis Meta yang selama ini bergantung pada platform sosial dan periklanan. Jika AI bisa menjadi gerbang utama informasi, mengapa orang perlu lagi scroll Facebook atau Instagram?
Perlombaan AI ini ibarat cold war teknologi. Meta kini berhadapan langsung dengan Microsoft-OpenAI, Alphabet, serta kuda hitam seperti xAI milik Elon Musk dan Anthropic. Bahkan Apple, yang sempat dianggap “tertinggal”, kini mulai mengumumkan pengembangan AI-nya. Dalam medan pertempuran ini, investasi triliunan rupiah hanyalah permulaan. Yang lebih krusial adalah siapa yang mampu menguasai data, mengasah algoritma, dan yang paling penting, siapa yang bisa mengubah ambisi menjadi realitas. Zuckerberg, dengan proyek “Titan” AI-nya, sedang mempertaruhkan segalanya. Pertanyaannya, akankah investasi fantastis ini membuahkan AI yang “menggantikan manusia”, atau sekadar menjadi babak baru dalam saga ambisi sang boss Facebook yang tak pernah padam?