Bitcoin Tembus Rp 1,7 Miliar: Sinyal Pemulihan atau Efek Politik Global?

Bitcoin Kembali Tembus Rp 1,7 Miliar: Efek Domino Trump, Xi Jinping, dan Sentimen Global

Jakarta, 9 Mei 2025 – Harga Bitcoin kembali menjadi sorotan setelah menembus ambang psikologis 100.000 dolar AS per keping, atau sekitar Rp 1,7 miliar, untuk pertama kalinya sejak Februari 2025. Kenaikan ini mencerminkan lebih dari sekadar antusiasme pasar kripto — ia mencerminkan dinamika yang lebih luas di kancah geopolitik dan ekonomi dunia.

Dalam 24 jam terakhir, Bitcoin tercatat melonjak sekitar 5 persen, dengan harga tertinggi menyentuh 103.239 dolar AS sebelum stabil di kisaran 102.624 dolar AS pada Jumat siang. Beberapa altcoin besar juga menunjukkan performa positif, seperti Ethereum (naik 13%), Solana (naik 10%), dan XRP (naik 6%).

Di Balik Lonjakan: Kabar dari Gedung Putih

Pemicu utama penguatan ini adalah pengumuman kebijakan dagang baru Presiden Donald Trump yang melibatkan Inggris, serta rencana pertemuan diplomatik dengan Presiden China Xi Jinping. Kedua kabar tersebut membawa angin segar ke pasar, yang sempat goyah akibat kebijakan tarif besar-besaran yang diumumkan pada awal April lalu.

Sebelumnya, Tarif Trump — kebijakan proteksionis berupa pajak impor tinggi terhadap barang dari mitra dagang utama AS — telah menciptakan ketegangan perdagangan dan kekhawatiran inflasi. Negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, hingga Indonesia terkena tarif hingga 30-an persen. Efek langsungnya: pasar saham global anjlok, termasuk kripto.

Korelasi Geopolitik dan Kripto

Korelasi antara kebijakan geopolitik dan harga aset kripto sudah semakin nyata sejak beberapa tahun terakhir. Kripto seperti Bitcoin kini tak lagi diperlakukan hanya sebagai instrumen spekulatif, tapi juga sebagai aset lindung nilai terhadap risiko sistemik, kebijakan pemerintah, dan instabilitas pasar keuangan konvensional.

Maka tak heran jika keputusan Trump untuk memberikan jeda 90 hari terhadap sebagian tarif justru menenangkan pasar. Ditambah dengan kabar diplomasi yang mengarah positif, maka pasar merespons dengan peningkatan volume beli.

“Investor melihat ini sebagai awal dari redanya ketegangan perdagangan global. Dan Bitcoin, sebagai aset yang tak terikat satu negara, kembali jadi pilihan utama,” ujar analis pasar dari FXStreet.

Apakah Kenaikan Ini Berkelanjutan?

Sejak titik terendah di 75.000 dolar AS pada April lalu, Bitcoin telah naik sekitar 35 persen. Kenaikan ini bukan hanya pemulihan harga, tapi juga mencerminkan rekonsolidasi kepercayaan investor terhadap kripto sebagai alternatif di tengah ketidakpastian.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pemulihan ini masih rapuh. Kesepakatan dagang AS–Inggris belum final, dan hasil pertemuan Trump–Xi di Jenewa akhir pekan ini akan sangat menentukan arah pasar ke depan. Jika negosiasi berlangsung baik, maka bukan tak mungkin Bitcoin akan menguji rekor baru lagi. Jika sebaliknya, volatilitas bisa kembali membesar.

Posisi Indonesia dan Implikasinya

Sebagai salah satu negara yang dikenai Tarif Trump sebesar 32 persen, Indonesia cukup terdampak dalam arus dagang ke AS. Meski tidak secara langsung berkaitan dengan pasar kripto domestik, kondisi ini ikut menciptakan ketidakpastian dalam iklim investasi umum, termasuk di sektor teknologi dan blockchain.

Namun menariknya, investor Indonesia justru mulai melirik Bitcoin kembali sebagai bentuk diversifikasi dan lindung nilai terhadap kebijakan global yang tidak dapat diprediksi. Hal ini terlihat dari meningkatnya volume transaksi di bursa lokal seperti Indodax dan Tokocrypto dalam seminggu terakhir.

Exit mobile version