Ledakan kecerdasan buatan membuat dunia sibuk membahas inovasi, otomatisasi, dan efisiensi. Namun di balik kemajuan itu, ada satu isu yang semakin keras dibicarakan para peneliti lingkungan: AI ternyata ikut meminum air bersih dalam skala yang jauh lebih besar dari dugaan publik. Pertanyaan yang dulu terdengar seperti rumor kini berubah menjadi perhatian serius di tingkat global.
Data yang telah dikumpulkan dari berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa konsumsi air untuk mengoperasikan AI modern bukan sekadar angka kecil. Bukan pula sesuatu yang abstrak. Dampaknya nyata, terukur, dan dalam beberapa kasus sudah mulai dirasakan di wilayah yang rawan kekeringan.
Pusat Data: “Pabrik Otak” AI yang Haus Air
Pusat data adalah nadi di balik layanan AI modern. Server yang bekerja tanpa henti menghasilkan panas tinggi dan membutuhkan pendinginan agar tetap stabil. Di sinilah awal jejak air bersih itu muncul.
Menurut laporan dari Environmental and Energy Study Institute (EESI), satu pusat data berukuran menengah dapat memakai sekitar 110 juta galon air per tahun, atau setara konsumsi hampir 1.000 rumah tangga. Sebagian besar air ini dipakai untuk menjaga suhu ruangan server dan mencegah kerusakan perangkat.
Untuk pusat data berskala raksasa, angkanya bahkan jauh lebih dramatis. EESI mencatat bahwa satu fasilitas besar dapat mengonsumsi hingga 5 juta galon per hari, setara dengan kebutuhan sebuah kota kecil. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen langsung menguap dan tidak kembali ke sistem air bersih yang dapat dikonsumsi manusia.
Konsumsi air juga tidak berhenti pada pendinginan saja. Pembangkit listrik yang memberi tenaga pada pusat data turut berkontribusi terhadap penggunaan air tidak langsung, sehingga total penggunaan meningkat lebih jauh.
Setiap Chat Bisa Punya Jejak Air
Salah satu temuan paling mengejutkan datang dari para peneliti yang menghitung jejak air per permintaan AI. Studi yang dikutip EESI memperkirakan bahwa mengirim prompt sepanjang 100 kata ke model AI besar dapat menghabiskan air setara satu botol air mineral ukuran sedang (sekitar 519 mililiter).
Jika satu orang mengirim ratusan prompt dalam sebulan, dan jutaan pengguna aktif melakukan hal yang sama, maka skala pemakaian air menjadi sangat besar. Ini baru perhitungan untuk satu jenis model bahasa. Belum termasuk pelatihan model baru yang membutuhkan komputasi raksasa.
Pelatihan model seperti GPT-3 saja diperkirakan membutuhkan ratusan ribu liter air, menurut data ringkasan ilmiah mengenai dampak lingkungan AI.
Proyeksi Global: Angka yang Mulai Mencekik
Sejumlah analisis proyeksi menempatkan konsumsi air AI global pada angka yang tidak lagi bisa diabaikan. Riset oleh Li dkk. memperkirakan bahwa pada 2027, infrastruktur AI dapat mengonsumsi 4,2 hingga 6,6 miliar meter kubik air. Skala ini mendekati atau bahkan melampaui sebagian besar penggunaan air tahunan negara-negara maju.
United Nations Environment Programme (UNEP) memperingatkan bahwa kebutuhan air untuk infrastruktur AI global dapat mencapai enam kali lebih banyak dari konsumsi seluruh Denmark.
Sementara itu, pemerintah Inggris melaporkan bahwa ekspansi pusat data AI berpotensi mempercepat krisis air, terutama karena banyak fasilitas dibangun di wilayah dengan tekanan pasokan tinggi. Di beberapa daerah, rendahnya transparansi membuat perencana sulit mengukur dampaknya secara akurat.
Perusahaan teknologi besar juga telah mencatat lonjakan pemakaian air yang drastis. Microsoft mengalami kenaikan konsumsi air lebih dari 30 persen, sementara Google mencatat peningkatan sekitar 20 persen dalam satu tahun.
Krisis Transparansi: Publik Tidak Tahu Berapa Banyak Air yang Dipakai
Masalah terbesar yang disorot hampir semua laporan adalah kurangnya keterbukaan. EESI menemukan bahwa hanya sebagian kecil operator pusat data yang mengukur dan mempublikasikan jejak air mereka.
UNEP dan lembaga lingkungan lainnya menyebut kondisi ini berbahaya karena publik tidak memiliki akses terhadap data akurat, sementara pusat data terus bertambah dengan kecepatan tinggi. Mereka mendorong adanya standar pelaporan wajib dan kebijakan efisiensi air yang lebih ketat.
Bagian Terang: AI Bukan Musuh Air, Jika Dipakai dengan Tepat
Walaupun AI memiliki jejak air signifikan, teknologi ini juga menjadi alat yang sangat berguna untuk menjaga ketersediaan air bersih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa AI bisa meningkatkan manajemen air dalam skala besar.
Riset ilmiah menemukan bahwa AI mampu memprediksi polutan di air minum, memantau kualitas air limbah, dan membaca data sensor secara real time.
Di Delhi, India, otoritas setempat menggunakan sistem berbasis AI dan digital twin untuk memantau jaringan distribusi air kota, mendeteksi kebocoran, dan memastikan pasokan tetap stabil bagi jutaan penduduk.
Teknologi analisis cepat kualitas air berbasis AI juga mulai dikembangkan, yang mampu menganalisis satu tetes air dalam hitungan detik.
Dalam konteks ini, AI justru menjadi solusi untuk memperkuat ketahanan air, bukan semata-mata ancaman.
Kesimpulan: Masa Depan AI Harus Menyertakan Air sebagai Faktor Utama
Dari berbagai data yang dapat diverifikasi, sejumlah kesimpulan penting muncul:
- AI memang memakai air bersih dalam jumlah sangat besar, terutama untuk pendinginan pusat data.
- Konsumsi air global AI dapat mencapai miliaran meter kubik dalam beberapa tahun ke depan.
- Transparansi penggunaan air masih rendah dan berpotensi memperburuk risiko di wilayah rawan kekeringan.
- Di sisi lain, AI juga menjadi alat penting untuk menjaga kualitas air dan memperbaiki sistem distribusi.
Perkembangan AI tidak lagi bisa dipisahkan dari isu keberlanjutan air. Di masa depan, kualitas inovasi tidak hanya dinilai dari kecanggihan teknologi, tetapi dari seberapa bijaksana teknologi itu dikelola agar tidak mengorbankan sumber daya paling mendasar bagi kehidupan manusia.
